POST STRUKTURALIS SEBAGAI DASAR PEMIKIRAN KARYA ARSITEKTUR FRANK GEHRY


303641-idx090801-mod08-2     gehry-guggenheim-museum-bilbao-310

Berbicara tentang Post-Strukturalisme tidak akan terlepas dari pembahasan Strukturalisme sebagai awal kemunculannya, karena post strukturalisme merupakan suatu kritik terhadap konsep berpikir strukturalisme. Strukturalisme, melihat struktur sebagai sesuatu yang bersifat stabil , tidak berubah dan menutup pintu terhadap perubahan struktur itu sendiri. Sesuatu yang diluar pemikiran standart, unthinkable, unimaginable atau unrepresentable dalam bahasa, tidak dapat diakomodasi dalam cara pandang strukturalis. Strukturalis juga bersandar pada pusat-pusat ( hakikat, eksistensi, substansi, subyek ) yang bersifat transedental. Prinsip metafisika tentang kehadiran dimana pusat-pusat yang bersifat metafisik tersebut dipercayai dapat ‘hadir’ ( present ) sebagai jaminan setiap tanda. Strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa ,dan bahasa sebagai simbol yang memungkinkan terciptanya makna yang berlaku universal.

Pada perkembangannya pemikiran ini mendapat kritikan karena penemuan fakta-fakta yang meilhat apa yang statis tadi memiliki peluang kedinamisan dan tidak stabil. Salah satu tokoh yang muncul mengeritik hal tersebut adalah Michel Foucault, seorang filsuf postmodern yang mengemukakan bahwa aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx),  atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan, sehingga yang berpengetahuan itulah yang berkuasa. Post strukturalisme melihat secara terbalik dari konsep strukturaslisme. Bahasa dilihat sebagai sesuatu yang tidak stabil, tidak teratur dan maknanya tidak universal, seperti pendapat Jaques Derride, tokoh post strukturalis dan post modernisme. Kata-kata memiliki makna berbeda apabila dilihat dalam konteks yang berbeda pula. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme, dimana ada anggapan adanya sesuatu diluar sistem bahasa kita yang dapat diacuan untuk sebuah karya tulis agar kalimat-kalimatnya dapat dikatakan : “benar” (Grentz, 2001:235).

Derrida menyusun teksnya sendiri dengan membongkar teks-teks lain dan dengan demikian ia berusaha melebihi teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri. Prosuder atau langkah-langkah ini oleh Derrida disebut deconstruction, “pembongkaran” (Bartens, 2001:328). Derrida berkontribusi dalam memberikan metode dekonsrtuksi dalam melihat imagi, simbol, ataupun tanda dan juga institusi sosial yang ada. Dekonstruksi memutus rantai dari kode mapan (tentang indah, baik, estetis, etis) untuk memproduksi perbedaan (difference) dan membongkar batas-batas baik/buruk, indah/jelek, moral/amoral.

Aplikasi pola pikir Deskronstuksi dalam interior dan arsitektur antara lain dengan perenungan yang menghasilkan semangat kembali pada esensi atau hakekat sesuatu dalam proses penciptaannya. Ruang dan bentuk dipandang sebagai area yang terbuka dari sesuatu yang mungkin dan tidak mungkin bisa dibentuk serta dimaknai. Hal tersebut yang melahirkan faham Post Modern dalam dunia interior dan arsitektur. Post modern merupakan reaksi dari modernisme yang sudah berjalan lama. Irwing Howe menyatakan hal tersebut sebagai “the radical breakdown of the moment”, jadi keduanya memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan berkelanjutan.

Salah satu tokoh yang mengungkapkan pendapatnya tentang post-modern adalah Robert Venturi, arsitek sekaligus teoritisi awal konsep arsitektur postmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966). Ia memaparkan bahwa arsitektur postmodern adalah konsepsi teoritis arsitektur yang memiliki beberapa karakter. Arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal) (Bertens, 1995: 54).

Bila diperhatikan, bentuk arsitektural bangun postmodern memiliki karakteristik bentuk yang menekankan konsep kontradiktif, kacau balau, rumit dan ada atau tidaknya orientasi, hal yang sangat berlandaskan pola pikir post strukturalis yang anti kemapanan dan lepas dari nilai-nilai. Arsitek ‘seakan ‘ mendapat ruang gerak yang sangat luas dan kebebasan berkreasi dalam membentuk. Hal ini tentu saja merupakan reaksi kritik dari faham yang sudah ada sebelumnya yaitu modernisme yang membatasi ruang ekspresi dengan mengusung fungsi sebagai sebagai sesuatu yang fundamental sesuai prinsip faham modern bahwa bentuk mengikuti fungsi ( Form follows function ) yang dicetuskan oleh Louis Sullivan. Demikian pula dengan pendapat lain seperti ‘nya Arsitek Mies van der Rohe dan ‘Less is more only when more is too much ‘yang dikatakan oleh Frank Llyod Wright yang meng-impontensi ornamen dalam bangunan.

 

Dalam Arsitektur Post modernisme, ada beberapa cirinya yaitu adanya penolakan terhadap gaya yang tunggal (universal) dan lebih memperjuangkan pluralisme gaya, adanya unsur kontradiksi misalnya penyatuan konsep kekinian dengan yang lama, mengabaikan fungsi praktis, dan seni dianggap sebagai bahasa atau system tanda (semiotika). Adalah Frank Owen Gehry , seorang tokoh arsitek postmodern.Gehry dikenal akan pendekatan ukiran ke desain bangunan dan untuk membangun struktur yang berkurva, dan seringkali dibungkus dengan logam yang mengkilat.Salah satu karya Frank Gehry yang dianggap karya terbesarnya adalah Museum Guggengeum di Bilbao Spanyol. Adalah massa kurva acak yang terbuat dari titanium dan menyerupai sisik ikan.

Frank Gehry banyak bermain dengan kayu, besi, corrugated wall selain bentuknya yang sangat avant garde pada saat itu. Dia dijuluki sebagai “the wild man” di dunia perancangan Amerika Serikat. Gehry mampu memadukan keperluan ruang yang standard dari sebuah concert hall (bentuk kotak-kotak) dengan semangat rancangannya yang sangat dinamis. Seniman post modern memiliki karya seni ” Hybrid Art “yang artinya menolak akar budaya yang bersifat tunggal dan hegemonik. Karena itu dalam mendefinisikan identitas artistik, karya seni postmodern melakukan pendekatan translasi kode budaya, dekulturalisasi nilai dan pembacaan intertekstual. Itulah yang menjadi dasar dari seni hibrid. Sikap kultural dari Frank Gehry cenderung pada gaya Eclectic, yang merupakan ciri seniman postmodern dalam sikap kultur berkaryanya.

Frank Gehry mencoba menggali bentuk dan manifestasi pengalaman pribadinya di waktu kecilnya yang kemudian menjadi sumber inspirasi namun tetap konseptual. Gehry juga tidak terpatok pada idiologi idiologi tertentu, bahkan dia menciptakan gayanya sendiri yang bersumber dari berbagai penggayaan yang dicampurkan menjadi suatu karya yang monumental. Karyanya masih mungkin berkembang lewat jejaring aneka pengalaman gaya yang universal dan lebih memperjuangkan pluralisme gaya. Sumber-sumber pengetahuan tidak dibatasi oleh jenis pengetahuan yang sudah dirasionalisasi atau distandarisasi menurut klaim otoritas tertentu, baik otoritas institusional maupun ilmiah. Dengan menggali dan menampilkan versi-versi arkeologis dari pengetahuan, maka sifat pengetahuan menjadi terus menerus relatif. Frank Gehry berusaha keluar dari standarisasi pemikiran yang mendewakan teknologi dan pakem-pakem standart bahwa fungsi adalah segalanya.

 

Sumber Pustaka:

Piliang, Amir Yasraf. 2010. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari

Piliang, Amir Yasraf. 2010. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari

Sobur, Alex. 2010. Semiotika Komunikasi . Bandung: Matahari

 

Sumber Internet:

http://adamfitriawijaya.wordpress.com (Tanggal Akses 16 Oktober 2012

http://sociolovers-ui.blogspot.com (Tanggal Akses 17 Oktober 2012)


Leave a Reply